"Bapakmu itu gila". Kata-kata itu yang berkali-kali ibu ucapkan setiap kali bapak tak ada dirumah. Aroma bawang dan asap dapur tercium dengan jelas dari tubuh ibu. Aroma yang aku sukai, aroma khas seorang ibu, aroma kasih sayang.
"Bapakmu itu gila". kata ibuku sekali lagi. Kali ini sambil mengacungkan pisau yg sedari tadi dia pegang untuk memotong beberapa wortel dan kentang yang akan dimasak sup. Makanan kesukaanku dan adikku. Atau mungkin aku sangat menyukai semua masakan ibu.
"Keadaan perekonomian membuat bapakmu gila nak. Maklumi saja jika Bapakmu selalu marah-marah". Kata ibuku sambil menghela nafas.
Aku hanya bisa terdiam dengan seribu fikiran berkecamuk menekan saraf saraf motorikku.
"Seharusnya bapakmu itu berusaha cari uang tambahan untuk kita, seharusnya bapakmu itu bisa berusaha lebih keras seperti suami-suami lain diluar sana. Ibu capek melihat bapakmu selalu saja marah. Pada ibu, padamu, pada adikmu. Bapakmu itu gila". Lagi-lagi ibu mulai mengoceh tak karuan. Aku sempat berpikir berkali-kali untuk berhenti kuliah saja dan mencari kerja. Mengeluarkan keluargaku dari kesulitan ekonomi yang semakin menghimpit. Tapi saat kutatap wajah ibu yang semakin menua, dengan kerutan-kerutan disudut matanya, aku bertekad untuk tidak menyerah. Aku harus menyelesaikan kuliahku, mendapatkan pekerjaan yang baik dan mengangkat beban ibu dan bapak. Bagiku bapak tidak gila, bapak hanya sedang kepayahan menghadapi kehidupan yang semakin kejam. Mungkin bapak hanya lelah berusaha memenuhi kebutuhan kami. Bapak tidak gila! Batinku.
Bapak pernah memintaku berhenti kuliah lalu mulai mengomel tak karuan tentang harga karet yang semakin murah. Yah, bapak hanya seorang petani karet yang dulunya pernah berjaya saat harga karet sedang tinggi-tingginya. Entah sejak kapan saat mulai pergantian pemerintahan, semua harga hasil bumi dikota kami menurun drastis. Dari sawit, karet sampai batubara. Bahkan perusahaan pertambangan banyak yang harus memPHk para pekerjanya untuk menutupi kerugian. Banyak juga yang harus gulung tikar. Nasib Petani? Mayoritas petani harus menjual kebun sawit atau kebun karetnya karena tak sanggup lagi bertahan. Terkadang hidup memang sekejam itu.
Saat bapak mulai mengoceh seperti itu, ibu yang akan membelaku. "Tidak pak, rita harus tetap kuliah. Ibu bisa jualan kue dipasar untuk tambahan biaya kuliah rita". Tangis ibu pecah di depanku dan bapak. Bapak hanya bisa terdiam dan pergi keluar rumah. Aku tahu pasti hati bapak juga perih melihat ibu menangis. aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis di depan ibu. Aku harus kuat! Demi ibu, demi bapak, demi eva adikku. Kupeluk erat ibu, kuusap air matanya. " rita akan tetap kuliah ibu"Kataku.
Terkadang untuk membantu ibu dan bapak aku akan bekerja paruh waktu di salah satu warung di dekat kampusku. Atau membantu mengerjakan tugas teman-teman kuliah dan mereka akan mentraktirku makan siang, Sehingga aku bisa menyisihkan uang makan siangku untuk keperluan yang lain. Mungkin aku sudah tak memiliki rasa malu lagi. Aku tidak perduli! asalkan aku bisa mengurangi beban ibu dan bapak, serta bisa segera lulus kuliah, aku akan melakukan apa saja.
Pernah pada suatu waktu ibu harus rela menjual satu-satunya kalung emas milik ibu