sebuah cerita: Bapakmu itu gila! (written by: Rerekara)




"Bapakmu itu gila". Kata-kata itu yang berkali-kali ibu ucapkan setiap kali bapak tak ada dirumah. Aroma bawang dan asap dapur tercium dengan jelas dari tubuh ibu. Aroma yang aku sukai, aroma khas seorang ibu, aroma kasih sayang.
"Bapakmu itu gila". kata ibuku sekali lagi. Kali ini sambil mengacungkan pisau yg sedari tadi dia pegang untuk memotong beberapa wortel dan kentang yang akan dimasak sup. Makanan kesukaanku dan adikku. Atau mungkin aku sangat menyukai semua masakan ibu.
"Keadaan perekonomian membuat bapakmu gila nak. Maklumi saja jika Bapakmu selalu marah-marah". Kata ibuku sambil menghela nafas.
Aku hanya bisa terdiam dengan seribu fikiran berkecamuk menekan saraf saraf motorikku.
"Seharusnya bapakmu itu berusaha cari uang tambahan untuk kita, seharusnya bapakmu itu bisa berusaha lebih keras seperti suami-suami lain diluar sana. Ibu capek melihat bapakmu selalu saja marah. Pada ibu, padamu, pada adikmu. Bapakmu itu gila". Lagi-lagi ibu mulai mengoceh tak karuan. Aku sempat berpikir berkali-kali untuk berhenti kuliah saja dan mencari kerja. Mengeluarkan keluargaku dari kesulitan ekonomi yang semakin menghimpit. Tapi saat kutatap wajah ibu yang semakin menua, dengan kerutan-kerutan disudut matanya, aku bertekad untuk tidak menyerah. Aku harus menyelesaikan kuliahku, mendapatkan pekerjaan yang baik dan mengangkat beban ibu dan bapak. Bagiku bapak tidak gila, bapak hanya sedang kepayahan menghadapi kehidupan yang semakin kejam. Mungkin bapak hanya lelah berusaha memenuhi kebutuhan kami. Bapak tidak gila! Batinku.

Bapak pernah memintaku berhenti kuliah lalu mulai mengomel tak karuan tentang harga karet yang semakin murah. Yah, bapak hanya seorang petani karet yang dulunya pernah berjaya saat harga karet sedang tinggi-tingginya. Entah sejak kapan saat mulai pergantian pemerintahan, semua harga hasil bumi dikota kami menurun drastis. Dari sawit, karet sampai batubara. Bahkan perusahaan pertambangan banyak yang harus memPHk para pekerjanya untuk menutupi kerugian. Banyak juga yang harus gulung tikar.  Nasib Petani? Mayoritas petani harus menjual kebun sawit atau kebun karetnya karena tak sanggup lagi bertahan. Terkadang hidup memang sekejam itu.

Saat bapak mulai mengoceh seperti itu, ibu yang akan membelaku. "Tidak pak, rita harus tetap kuliah. Ibu bisa jualan kue dipasar untuk tambahan biaya kuliah rita". Tangis ibu pecah di depanku dan bapak. Bapak hanya bisa terdiam dan pergi keluar rumah. Aku tahu pasti hati bapak juga perih melihat ibu menangis. aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis di depan ibu. Aku harus kuat! Demi ibu, demi bapak, demi eva adikku. Kupeluk erat ibu, kuusap air matanya. " rita akan tetap kuliah ibu"Kataku.
Terkadang untuk membantu ibu dan bapak aku akan bekerja paruh waktu di salah satu warung di dekat kampusku. Atau membantu mengerjakan tugas teman-teman kuliah dan mereka akan mentraktirku makan siang, Sehingga aku bisa menyisihkan uang makan siangku untuk keperluan  yang lain. Mungkin aku sudah tak memiliki rasa malu lagi. Aku tidak perduli! asalkan aku bisa mengurangi beban ibu dan bapak, serta bisa segera lulus kuliah, aku akan melakukan apa saja.

Pernah pada suatu waktu ibu harus rela menjual satu-satunya kalung emas milik ibu
untuk biaya sekolah eva yang baru masuk SMP. "Anak-anak ibu harus sekolah setinggi-tingginya. Biarkan bapak dan ibu yang memikirkan biayanya" kata ibuku pada eva waktu itu. Aku diam-diam menangis disudut kamar. Bukan menangisi keadaan perekonomian kami tapi menangis karena salut dengan prinsip hidup ibu yang setegar karang.

Ibu sangat pandai memasak sup. Setelah semua bahan telah terpotong ibu mulai menyalakan kompor dan menaruh panci berisi air diatasnya  lalu mulai memasukkan satu persatu bahan masakan. Wangi sup yang sangat menggoda membuatku ingin  segera memakannya.
"Nanti kamu antarkan bekal buat ayahmu dikebun ya nak, ayahmu berangkat subuh dan tidak sarapan"  kata ibu meminta tolong padaku.
"Iya bu" sahutku.
 Aku tau meskipun ayah selalu mengomel pada ibu dan kami, ibu masih sangat mencintai dan memperhatikan ayah. Kadang aku bertanya2 bagaimana perasaan ayah pada ibu. Apakah ayah masih mencintai ibu? Melihat keadaan keluarga kami aku bertekad untuk bisa hidup berkecukupan dan mandiri. Bahkan terkadang aku sering berpikir untuk tidak bergantung pada lelaki jika aku sudah menikah nanti.

***
Terik matahari mendampingi perjalananku menuju kebun bapak. jam ditanganku masih menunjukkan pukul 10 tapi panas matahari sudah sangat terasa membakar kulit. Aku kayuh sepedaku lebih cepat menuju kebun ayah. Sesampainya dipinggiran jalan setapak aku parkir sepedaku dan masuk kedalam kebun karet ayah. Didekat kebun karet ayah ada sungai kecil yang sangat jernih airnya. Dulu saat aku masih kecil, aku sangat suka duduk dijembatan kayu dekat sungai sambil mencelupkan separuh kaki ke airnya. Sensasi yang sangat menyenangkan menurutku, merasakan dingin airnya sambil sesekali melihat ikan-ikan kecil yang berenang kesana kemari. Lalu mulai mengkhayal tentang seorang pangeran berkumis tipis dengan matanya yg bening datang menghampiriku dan membawaku ke istana. Saat aku mulai dewasa, aku merasa mimpi itu sangat konyol. aku berjalan melewati jembatan kayu dan dari kejauhan kulihat ayah sedang duduk dipondok dengan pakaian lusuhnya. Bau karet begitu menyengat menusuk hidungku. Tapi aku tak merasa terganggu sama sekali karena aku sudah terbiasa dengan baunya. Ibu selalu bilang bayangkan saja bau karet itu adalah bau uang yang akan kita dapatkan.
"Bapak!!" Panggilku. Bapak menoleh dan tersenyum. Aku taruh bekal buatan ibu disebelah bapak dan ingin segera beranjak pergi.
"Nak, bapak minta maaf". Tiba-tiba suara bapak yang begitu lirih mengagetkanku. Aku duduk disebelah bapak dan kutatap wajah bapak yang terlihat lelah dan tua.
"Kenapa bapak harus minta maaf?". Tanyaku.
"Maaf bapak tidak bisa memberikan kalian hidup yang layak. Maaf bapak  selalu bersikap tidak baik di depan kalian. Maafkan bapak nak. Bapak hanya sedang pusing memikirkan nasib perkebunan kita". Mata bapak terlihat menerawang jauh dengan tatapan penuh kesedihan.
"Tidak apa pak, rita mengerti"  sahutku sambil tersenyum.
Sekarang aku tau bapak sangat menyayangi kami. Bagi bapak kamilah hidupnya. Bapak hanya tidak tau bagaimana cara mengungkapkannya. Dan mungkin hanya ibulah yang tau seberapa besar cinta bapak kepada kami. Iya, bapak memang gila. Gila karena cintanya yang begitu besar kepada kami. Bukankah orang-orang hebat memang selalu memiliki pikiran gila?





No comments:

Post a Comment

Book Review: Antologi Rasa (Cinta yang Bertepuk Sebelah Tangan)

ANTOLOGI RASA Oleh     : Ika Natassa Editor : Rosi L. Simamora Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Desain Cov...